SYARIAT ISLAM MENGAKOMODASI KERAGAMAN DAN KEBHINEKAAN

 

 

Upaya penerapan syariat Islam dalam koridor Negara seringkali dikonfrontasikan dengan keragaman agama, budaya, dan keyakinan (pluralitas). Meskipun ini bertentangan dengan realitas masyarakat Islam dan nash-nash syariat, akan tetapi isyu uniformisasi jika syariat Islam diterapkan justru telah menduduki mainstream utama. Akibatnya, formalisasi syariat Islam dianggap sebagai ancaman bagi keragaman, keberagamaan, dan kebhinekaan. Padahal, isyu uniformisasi ini disebarluaskan dan dipropagandakan secara tidak bertanggungjawab, disandarkan pada epistemology yang rapuh, a historis, dan ditengarai sarat dengan agenda politik culas; yakni mencegah formalisasi syariat Islam. 

Lantas, benarkah bila syariat Islam diterapkan, semua orang dipaksa memeluk agama Islam? Benarkah formalisasi syariat Islam akan diiringi dengan penyeragaman (uniformisasi) agama, budaya, pemikiran, dan pandangan hidup? Benarkah akan terjadi peminggiran peran kelompok minoritas jika syariat Islam diterapkan dalam koridor Negara?

Tulisan ini akan menguraikan penerapan syariat Islam di tengah keragaman agama, keyakinan, dan budaya, ditinjau dari sisi sejarah dan nash-nash syariat. Lebih dari itu, tulisan ini juga mengetengahkan cara pandang dan solusi Islam terhadap keragaman budaya, agama, dan pemikiran.

INKLUSIVITAS MASYARAKAT ISLAM DALAM TINJAUAN HISTORIS

a. Inklusivitas Masyarakat Islam Di Jaman Nabi saw

Tatkala Rasulullah saw menegakkan Daulah Islam (Negara Islam) di Madinah, struktur masyarakat Islam saat itu tidaklah seragam. Masyarakat Madinah dihuni oleh kaum Muslim, Yahudi, Nashrani, dan juga kaum Musyrik. Namun, mereka bisa hidup bersama dalam naungan Daulah Islamiyyah dan di bawah otoritas hukum Islam. Entitas-entitas selain Islam tidak dipaksa masuk ke dalam agama Islam, atau diusir dari Madinah. Mereka mendapatkan perlindungan dan hak yang sama seperti kaum Muslim. Mereka hidup berdampingan satu dengan yang lain tanpa ada intimidasi dan gangguan. Bahkan Islam telah melindungi “kebebasan mereka” dalam hal ibadah, keyakinan, dan urusan-urusan privat mereka. Mereka dibiarkan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan mereka.

Masyarakat Islam yang inclusive seperti ini terlihat jelas dalam Piagam Madinah yang dicetuskan oleh Rasulullah saw. Dalam klausul 13-17 Piagam Madinah disebutkan sebagai berikut, “Orang mukmin tidak boleh membunuh orang mukmin untuk kepentingan orang kafir, juga tidak boleh menolong orang kafir dalam memusuhi orang mukmin. Janji perlindungan Allah adalah satu. Mukmin yang tertindas dan lemah, akan memperoleh perlindungan hingga menjadi kuat. Sesama mukmin hendaknya saling tolong menolong. Orang-orang Yahudi yang mengikuti langkah kami (Mohammad), dimusuhi dan tidak pula dianiaya. Perjanjian damai yang dilakukan oleh orang-orang mukmin haruslah merupakan satu kesepakatan.Tidak dibenar-benarkan seorang mukmin mengadakan perdamaian dengan meninggalkan yang lain dalam keadaan perang di jalan Allah, kecuali telah disepakati dan diterima bersama.”Kaum Yahudi yang disebut dalam piagam ini adalah orang-orang Yahudi yang ingin menjadi bagian dari penduduk negara Islam. Mereka mendapatkan perlindungan dan hak mu’amalah yang sama sebagaimana kaum Muslim. Sebab, mereka merupakan bagian dari rakyat negara Islam yang berhak mendapatkan perlindungan dan dipenuhi haknya. Dalam piagam Madinah tersebut disebutkan nama-nama kabilah Yahudi yang mengikat perjanjian dengan Rasulullah saw (menjadi bagian Daulah Islamiyyah), yakni Yahudi Bani ‘Auf, Yahudi Bani Najjar, dan sebagainya.

Kelompok pluralis sendiri mengakui masyarakat Madinah sebagai model masyarakat inklusive. Bahkan, mereka menyepadankan masyarakat Madinah dengan civil society atau masyarakat plural. Walaupun penyepadanan masyarakat Madinah dengan civil society ini tidaklah tepat, hanya saja, pengakuan kaum pluralis terhadap masyarakat Madinah sebagai masyarakat yang inklusive justru membuktikan bahwa mereka sebenarnya menyakini bahwa Daulah Islamiyyah menjamin dan melindungi keragaman, dan sama sekali tidak menghendaki adanya uniformisasi. Lantas, mengapa sekarang mereka justru membuat isyu; penerapan syariat Islam dalam koridor Negara akan mengancam keberagaman dan kebhinekaan? Mengapa pula mereka getol menyebarkan isyu uniformisasi dan eksklusifitas bila syariat Islam diformalisasikan dalam undang-undang Negara? Lalu, di mana letak konsistensi mereka dalam berpendapat?

Setelah kekuasaan Daulah Islamiyyah meluas di jazirah Arab, Nabi saw memberikan perlindungan atas jiwa, agama, dan harta penduduk Ailah, Jarba’, Adzrah, Maqna, yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Nabi saw juga memberikan perlindungan , baik harta, jiwa, dan agama penduduk Khaibar yang mayoritasnya beragama Yahudi. Beliau juga memberikan perlindungan kepada penduduk Juhainah, Bani Dlamrah, Asyja’, Najran, Muzainah, Aslam, Juza’ah, Jidzaam, Qadla’ah, Jarsy, orang-orang Kristen yang ada di Bahrain, Bani Mudrik, dan Ri’asy, dan masih banyak lagi.

Imam Bukhari menuturkan sebuah riwayat dari Rabi’ bin Khudaij, bahwasanya ia berkata, “Seorang laki-laki dari Anshor terbunuh di Khaibar. Walinya menghadap Rasulullah saw dan menceritakan peristiwa itu kepada beliau saw. Rasulullah saw bertanya kepada mereka, “Kamu harus menghadirkan dua orang saksi yang menyaksikan pembunuhan atas saudaramu.” Mereka berkata, “Ya Rasulullah di sana tidak ada seorangpun dari kaum Muslim akan tetapi hanya ada orang-orang Yahudi yang kadang-kadang bisa berbuat lebih kejam daripada ini. Rasulullah saw bersabda, “Pilihlah 50 orang dari mereka Yahudi, dan suruhlah mereka bersumpah. Setelah itu, Rasulullah saw membayarkan diyat pembunuhan kepada wali pihak yang terbunuh.”

Saat itu, Khaibar telah menjadi bagian Negara Islam, dan penduduknya didominasi oleh orang-orang Yahudi. Ketika orang—orang Yahudi bersumpah tidak terlibat dalam pembunuhan, Rasulullah saw pun tidak menjatuhkan vonis kepada mereka. Bahkan, beliau saw membayarkan diyat atas peristiwa pembunuhan di Khaibar tersebut. Hadits ini menunjukkan bagaimana Rasulullah saw menegakkan keadilan hukum bagi warga negaranya tanpa memandang lagi perbedaan agama, ras, dan suku. Adapun non Muslim yang hidup di bawah kekuasaan Islam, mereka tunduk dan patuh terhadap syariat Islam yang telah ditetapkan sebagai hukum negara. Mereka juga mendapatkan perlindungan dalam menjalankan peribadatan, dan keyakinan mereka. Mereka tidak dipaksa untuk memeluk Islam, atau diperintah untuk melenyapkan truth claim atas agama dan keyakinan yang mereka anut. Malah, mereka diberi kebebasan untuk menjalankan seluruh aktivitasnya sesuai dengan koridor hukum negara (syariat Islam).

Fragmen sejarah di atas membuktikan, bahwa formalisasi syariat Islam bukanlah ancaman bagi keberagaman, kebhinekaan, dan kelompok minoritas.

b. Inklusivitas Masyarakat Islam Di Jaman Kekhilafahan Islam

Setelah Nabi Mohammad saw wafat, tugas kenegaraan dan pengaturan urusan rakyat dilanjutkan oleh para khalifah. Kekuasaan Islam pun meluas hingga mencakup hampir 2/3 dunia. Kekuasaan Islam yang membentang mulai dari Jazirah Arab, jazirah Syam, Afrika, Hindia, Balkan, dan Asia Tengah itu, tidak mendorong para Khalifah untuk melakukan uniformisasi warga Negara, maupun upaya-upaya untuk memberangus pluralitas. Padahal, dengan wilayah seluas itu, Daulah Islam memiliki keragaman budaya, keyakinan, dan agama yang sangat besar, dan sewaktu-waktu bisa memunculkan “konflik agama“. Akan tetapi, hingga kekhilafahan terakhir Islam, tak ada satupun pemerintahan Islam yang mewacanakan adanya uniformisasi (keseragaman), atau berusaha menghapuskan pluralitas agama, budaya, dan keyakinan dengan alasan untuk mencegah adanya konflik.

Bahkan, penerapan syariat Islam saat itu, berhasil menciptakan keadilan, kesetaraan, dan rasa aman bagi seluruh warga negara, baik Muslim maupun non Muslim. Dalam bukunya Holy War, Karen Amstrong menggambarkan saat-saat penyerahan kunci Baitul Maqdis kepada Umar bin Khathathab kira-kira sebagai berikut, “Pada tahun 637 M, Umar bin Khaththab memasuki Yerusalem dengan dikawal oleh Uskup Yunani Sofronius. Sang Khalifah minta agar dibawa segera ke Haram al-Syarif, dan di sana ia berlutut berdoa di tempat Nabi Mohammad saw melakukan perjalanan malamnya. Sang uskup memandang Umar penuh dengan ketakutan. Ia berfikir, ini adalah hari penaklukan yang akan dipenuhi oleh kengerian yang pernah diramalkan oleh Nabi Daniel. Pastilah, Umar ra adalah sang Anti Kristus yang akan melakukan pembantian dan menandai datangnya Hari Kiamat.. Namun, kekhawatiran Sofronius sama sekali tidak terbukti.” Setelah itu, penduduk Palestina hidup damai, tentram, tidak ada permusuhan dan pertikaian, meskipun mereka menganut tiga agama besar yang berbeda, Islam, Kristen, dan Yahudi.

Keadaan ini sangat kontras dengan apa yang dilakukan oleh tentara Salib pada tahun 1099 Masehi. Ketika mereka berhasil menaklukkan Palestina, kengerian, teror, dan pembantaian pun disebarkan hampir ke seluruh kota. Selama dua hari setelah penaklukkan, 40.000 kaum Muslim dibantai. Pasukan Salib berjalan di jalan-jalan Palestina dengan menyeberangi lautan darah. Keadilan, persatuan, dan perdamaian tiga penganut agama besar yang diciptakan sejak tahun 1837 oleh Umar bin Khaththab hancur berkeping-keping. Meskipun demikian, ketika Shalahuddin al-Ayyubiy berhasil membebaskan kota Quds pada tahun 1187 Masehi, beliau tidak melakukan balas dendam dan kebiadaban yang serupa. Karen Armstrong menggambarkan penaklukan kedua kalinya atas Yerusalem ini dengan kata-kata berikut ini, “Pada tanggal 2 Oktober 1187, Salahuddin dan tentaranya memasuki Yerusalem sebagai penakluk dan selama 800 tahun berikutnya Yerusalem tetap menjadi kota Muslim. Salahuddin menepati janjinya, dan menaklukkan kota tersebut menurut ajaran Islam yang murni dan paling tinggi. Dia tidak berdendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang Al-Qur’an anjurkan (16:127), dan sekarang, karena permusuhan dihentikan, ia menghentikan pembunuhan (2:193-194)”. Di Andalusia, kaum Muslim, Yahudi, dan Kristen hidup berdampingan selama berabad-abad, di bawah naungan kekuasaan Islam. Tidak ada pemaksaan kepada kaum Yahudi dan Kristen untuk masuk ke dalam agama Islam. Sayangnya, peradaban yang inclusive dan agung ini berakhir di bawah mahkamah inkuisisi kaum Kristen ortodoks. Orang-orang Yahudi dan Muslim dipaksa masuk agama Kristen. Jika menolak mereka diusir dari Andalusia, atau dibantai secara kejam dalam peradilan inkuisisi.Pada tahun 1519 Masehi, pemerintahan Islam memberikan sertifikat tanah kepada para pengungsi Yahudi yang lari dari kekejaman inkuisisi Spanyol pasca jatuhnya pemerintahan Islam di Andalusia.

 

 

Surat jaminan perlindungan juga pernah diberikan kepada Raja Swedia yang diusir tentara Rusia dan mencari suaka politik ke Khalifah pada tanggal 30 Jumadil Awwal 1121 H/7 Agustus 1709 H.

Pada tanggal 13 Rabiul Akhir 1282/5 September 1865, khalifah memberikan izin dan ongkos kepada 30 keluarga Yunani yang telah berimigrasi ke Rusia namun ingin kembali ke wilayah khalifah. Sebab, di Rusia mereka tidak mendapatkan kesejahteraan hidup.

Inilah sebagian fragmen sejarah yang menunjukkan, bahwa penerapan syariat Islam dalam koridor Negara tetap melindungi dan metolerir adanya keragaman dan kebhinekaan. Tidak ada uniformisasi, tidak ada pemberangusan terhadap pluralitas, tidak ada pemaksaan atas non Muslim untuk masuk Islam, dan tidak ada pengusiran terhadap non Muslim dari wilayah kekuasaan Islam. Yang terjadi justru, perlindungan terhadap non Muslim, Lebih dari itu, pemerintah Islam dengan syariat Islamnya benar-benar telah mewujudkan gagasan masyarakat inclusive tanpa menghapus truth claim agama, dan tanpa melakukan uniformisasi dan intimidasi.

Lalu, mengapa penerapan syariat Islam dalam koridor Negara selalu dikesankan dengan upaya-upaya uniformisasi, pengusiran terhadap non Muslim, eksklusifitas, dan penghancuran terhadap pluralitas? Bukankah kesan tersebut jelas-jelas keliru dan bertentangan dengan realitas sejarah? Barangkali, yang menyebarkan isyu ini adalah orang yang awam terhadap sejarah Islam; barangkali a histories dan tidak jujur terhadap sejarah; atau barangkali ini adalah isyu politis yang ditujukan untuk menghambat penerapan syariat Islam dalam koridor Negara.

INKLUSIVITAS MASYARAKAT ISLAM DALAM TINJAUAN SYARIAT

 

a. Syariat Tidak Hanya Ditujukan Bagi Umat Islam Belaka

Pada dasarnya, agama Islam tidak hanya diperuntukkan bagi kaum Muslim belaka, akan tetapi ia adalah agama universal yang ditujukan untuk seluruh umat manusia. Al-Quran telah menyatakan hal ini di beberapa tempat.

“Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui”.

 

Katakanlah: “Hai manusia Sesungguhnya Aku adalah utusan Allah kepadamu semua” (TQS Al A’raaf [7] : 158)

Nash-nash di atas menunjukkan, bahwa syariat Islam tidak hanya diberlakukan kaum Muslim belaka (sectarian), akan tetapi, ia berlaku universal bagi seluruh umat manusia, tanpa memandang lagi keragaman suku, ras, kebudayaan, agama, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, syariat Islam bukan hanya ditujukan bagi kaum Muslim saja, akan tetapi ia juga ditujukan bagi non Muslm. Hanya saja, keuniversalan syariat Islam ini tidak boleh diartikan, bahwa non Muslim dipaksa “menerapkan syariat Islam pada seluruh aspek kehidupannya.” Hanya pada aspek-aspek tertentu saja, mereka wajib terikat dengan syariat Islam. Adapun rinciannya dapat dijelaskan sebagai berikut.

 

a.1. Pelaksanaan Syariat Islam oleh Non Muslim

Seperti yang telah dijelaskan di atas; syariat Islam juga diterapkan bagi non Muslim. Sebab, mukallaf (orang yang dibebani) menjalankan syariat bukan hanya kaum Muslim belaka, akan tetapi seluruh manusia, baik Muslim maupun non Muslim. Hanya saja, Islam telah merinci pelaksanaan syariat Islam oleh Non Muslim.

Pelaksanaan syariat Islam oleh non Muslim dirinci berdasarkan dua tinjauan berikut ini. Pertama, pelaksanaan syariat Islam oleh non Muslim berdasarkan inisiatif dan kesadarannya sendiri, tanpa ada paksaan dari Daulah Islam. Contohnya, ada seorang non Muslim atas kehendaknya sendiri ingin mengerjakan sholat, puasa, zakat, dan ibadah lain. Lalu, bagaimana hukum Islam mengatur kasus semacam ini? Pada dasarnya, jika pelaksanaan syariat tersebut mensyaratkan adanya keislaman dan keimanan terlebih dahulu, maka orang kafir tidak diperkenankan melaksanakan atau mengerjakan syariat-syariat seperti itu. Misalnya, syariat Islam tentang zakat, puasa, haji, sholat, menduduki jabatan hakim dan pemerintahan, kesaksian dalam hal hak-hak harta, dan sebagainya. Sesungguhnya, pelaksanaan syariat semacam ini mensyaratkan adanya keimanan dan keislaman terlebih dahulu. Jika seseorang belum memenuhi dua syarat ini, maka ia dilarang mengerjakan syariat-syariat tersebut. Adapun non Muslim, mereka adalah orang-orang yang belum memenuhi syarat keimanan dan keislaman. Oleh karena itu, mereka dilarang melaksanakan dan mengerjakan syariat-syariat semacam ini. Adapun, jika pelaksanaan syariat tersebut tidak mensyaratkan adanya keimanan dan keislaman terlebih dahulu, maka non Muslim tidak dilarang melaksanakan syariat tersebut. Misalnya, berperangnya seorang non Muslim bersama pasukan kaum Muslim; kesaksian non Muslim dalam masalah jual beli, dan semua perkara yang tidak mensyaratkan adanya keimanan dan keislaman terlebih dahulu. Oleh karena itu, non Muslim diperbolehkan berkecimpung dalam bidang kedokteran, industri, pertanian, perkebunan, dan lain sebagainya.

Kedua, pemberlakuan dan penerapan syariat Islam atas non Muslim. Pertama, jika ada nash-nash umum yang pelaksanaannya tidak dibatasi oleh syarat keimanan dan keislaman, maka hal ini perlu diteliti terlebih dahulu. Jika pelaksanaan hukum syariat tersebut hanya dikhususkan bagi kaum Muslim –karena ada syarat keimanan dan keislaman di dalamnya; atau ada ketetapan dari Rasulullah saw bahwa mereka (non Muslim) tidak dipaksa untuk melaksanakan syariat-syariat tersebut; maka pada dua kondisi semacam ini, hukum syariat tersebut tidak akan dibebankan atau diberlakukan kepada mereka (non Muslim). Dan khalifah tidak boleh memberi sanksi kepada mereka, jika mereka tidak melaksanakan syariat-syariat tersebut. Oleh karena itu, khalifah tidak boleh memberi sanksi atas ketidakimanan dan ketidakislamannya non Muslim. Mereka dibiarkan tetap tidak beriman, atau menyakini keyakinan-keyakinan kufurnya. Negara tidak boleh memaksa mereka untuk memeluk Islam. Negara Islam juga tidak boleh memaksa orang kafir untuk beribadah seperti ibadahnya kaum Muslim. Mereka dibiarkan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa Rasulullah saw membiarkan non Muslim beribadah sesuai dengan keyakinan dan agama mereka. Beliau saw juga tidak menghancurkan gereja, biara, dan tempat-tempat peribadatan orang-orang kafir. Hukum-hukum jihad juga tidak dibebankan kepada mereka. Mereka juga tidak diwajibkan pergi berjihad bersama kaum Muslim. Mereka juga tidak dipaksa untuk meninggalkan minuman keras, dan atas mereka juga tidak diterapkan hukum-hukum yang berhubungan dengan minuman keras (syirbul khamr). Sebab, para shahabat ra, ketika menaklukkan wilayah Yaman, mereka membiarkan orang-orang Kristen di wilayah itu minum-minuman keras, dan para shahabat tidak memaksa mereka untuk meninggalkan minuman keras.

Namun, jika ada hukum-hukum yang pelaksanaannya tidak mensyaratkan adanya keimanan dan keislaman terlebih dahulu, dan tidak ada nash umum yang mengecualikan pelaksanaannya bagi non Muslim; maka hokum-hukum itu akan diberlakukan dan diterapkan kepada non Muslim. Misalnya, hukum-hukum yang menyangkut masalah muamala, pidana, dan sebagainya. Oleh karena itu, jika non Muslim melakukan pencurian, maka ia akan dikenai hukuman potong tangan. Begitu pula juga ada non Muslim melakukan perzinaan, maka ia akan dikenai had zina, dan sebagainya. Imam Bukhari menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Nabi saw pernah dilapori kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang Yahudi terhadap seorang budak perempuan. Ketika orang Yahudi itu mengakui perbuatannya, Rasulullah saw pun memvonis hukuman mati (qishash) atas orang Yahudi tersebut. Imam Muslim juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Nabi saw pernah merajam seorang laki-laki dari suku Aslam, dan seorang laki-laki dari orang Yahudi dan wanitanya. Begitu pula hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan muamalat, pidana, pemerintahan, dan sebagainya, semuanya juga diberlakukan kepada non Muslim tanpa pengecualiaan.

Inilah ketentuan pokok yang berhubungan dengan pelaksanaan syariat Islam oleh non Muslim. Kenyataan ini menunjukkan kepada kita, bahwa tidak ada penyeragaman dan pemaksaan atas orang-orang kafir, dalam hal ibadah, keyakinan, dan lain sebagainya; sesuai dengan ketentuan di atas.

 

b. Islam tidak memaksa non Muslim untuk masuk Islam dan menyakini keyakinan Islam

.

Inklusivitas Islam juga dibuktikan dengan pengakuan dan perlindungan Islam atas keragaman (pluralitas). Al-Quran telah menyatakan hal ini di beberapa tempat.

(Saba’ [34]:28)Inklusivitas Islam bisa dibuktikan dengan kenyataan-kenyataan berikut ini.Pemerintah Amerika Serikat pun pernah mengirimkan surat ucapan terima kasih kepada Khilafah Islamiyyah atas bantuan pangan yang dikirimkan kepada mereka pasca perang melawan Inggris pada abad ke 18.

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang paling bertaqwa di sisi Allah.

“[al-Hujurat:13].

لِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا هُمْ نَاسِكُوهُ فَلَا يُنَازِعُنَّكَ فِي الْأَمْرِ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ إِنَّكَ لَعَلَى هُدًى مُسْتَقِيمٍ()وَإِنْ جَادَلُوكَ فَقُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا تَعْمَلُونَ

Tiap umat mempunyai cara peribadatan sendiri, janganlah kiranya mereka membantahmu dalam hal ini. Ajaklah mereka ke jalan Rabbmu. Engkau berada di atas jalan yang benar.” Kalau mereka membantahmu juga, katakanlah, Allah tahu apa yang kalian kerjakan.”[al-Hajj:67-68].

Ayat-ayat di atas menunjukkan, bahwa Islam mengakui dan mengakomodasi adanya pluralitas agama, kebudayaan, dan pemikiran. Islam tidak menafikan adanya keragaman agama, budaya, dan pemikiran yang ada di tengah-tengah masyarakat Islam. Islam juga tidak akan menyeragamkan atau memberangus keragaman budaya, keyakinan, dan pandangan hidup selain Islam. Seorang Muslim hanya diwajibkan untuk mengajak non Muslim untuk memeluk agama Islam. Jika mereka menolak, mereka tidak dipaksa, dan dibiarkan tetap memeluk agama dan keyakinannya. Al-Quran menyatakan masalah ini dengan sangat jelas

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui

“. (TQS. Al Baqarah [2]:256)

Walhasil, Islam tidak akan memaksa non Muslim untuk masuk ke dalam agama Islam. Mereka juga tidak dipaksa untuk menyakini dan membenarkan keyakinan Islam. Oleh karena itu, agama dan keyakinan kaum Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, Majuzi, Zoaroaste, Atheis (sosialis), Sekuleris, dan sebagainya akan mendapatkan perlindungan dan jaminan keamanan. Pemeluknya juga diberikan kebebasan dan perlindungan untuk melaksanakan ritual-ritual agamanya tanpa ada intimidasi, pemaksaan, maupun apa yang disebut dengan uniformisasi peribadatan. Untuk itu, orang-orang kafir tidak dipaksa untuk melakukan prosesi pernikahan seperti prosesi pernikahannya kaum Muslim. Mereka juga tidak dikenai zakat, dan lain sebagainya.

Namun demikian, seorang Muslim yang murtad dari agama Islam, akan dikenai sanksi hukuman mati dari Negara Islam. Begitu juga seorang Muslim yang menyakini dan menyebar luaskan ide sekulerisme, sosialisme, dan liberalisme, maka mereka akan dikenai sanksi ta’zir yang kadarnya ditentukan sepenuhnya oleh qadliy. Tidak boleh dinyatakan, bahwa tindakan ini dianggap melanggar kebebasan. Sebab, Islam telah menggariskan had riddah bagi para pemeluknya.

 

PANDANGAN DAN SOLUSI ISLAM ATAS PLURALITAS

Islam memandang bahwa pluralitas agama, keyakinan, dan budaya bukanlah ancaman atau penyebab dasar terjadinya konflik. Islam juga tidak memandang bahwa adanya klaim kebenaran (truth claim) dari masing-masing agama sebagai pemicu munculnya peperangan dan konflik. Oleh karena itu, Islam tidak berkehendak untuk menghapuskan truth claim masing-masing agama atau keyakinan; atau berusaha menyeragamkan “pandangan tertentu” pada setiap agama, seperti yang dilakukan oleh kelompok pluralis.

Dengan kata lain, solusi Islam terhadap keragaman budaya, agama, dan keyakinan bukan dengan cara menghapuskan truth claim, atau menghancurkan identitas agama-agama selain Islam. Akan tetapi, Islam mengakui adanya pluralitas, dan memberikan perlindungan (proteksi) atas keragaman tersebut. Oleh karena itu, Islam tidak menerima paham pluralisme yang hendak menghapuskan truth claim, atau yang berkehendak mencairkan identitas agama-agama selain Islam. Dalam pandangan Islam, orang Yahudi tidak dipaksa atau diajak untuk menyakini sebuah pandangan, bahwa semua agama adalah sama-sama benarnya; atau untuk menyakini bahwa semua agama menyembah kepada Tuhan yang sama meskipun dengan cara yang berbeda-beda (filsafat perennial). Islam juga tidak memaksakan atau menjajakan ide bahwa semua agama harus meninggalkan identitas agamanya masing-masing dan berduyun-duyun memeluk agama universal (global religion). Islam tidak menghendaki agar orang Yahudi dan Kristen menanggalkan identitas agama mereka, dan diajak untuk memeluk agama universal seperti anjuran kaum pluralis. Islam juga membiarkan pemeluk-pemeluk agama lain menyakini kebenaran agama dan keyakinannya sendiri. Islam juga tidak berkehendak untuk menghapuskan klaim kebenaran mereka. Islam hanya mengajak mereka untuk masuk ke dalam Islam. Jika mereka menolak, mereka dibiarkan tetap dalam agama dan keyakinannya.

Dari sini bisa disimpulkan; solusi Islam atas keragaman (pluralitas) adalah, Islam mengakui dan mengakomodasi pluralitas, serta tidak menghapuskan truth claim dan identitas agama-agama non Islam. Namun Islam menolak sepenuhnya gagasan pluralisme yang ingin menggiring semua agama untuk menghapuskan klaim kebenarannya masing-masing; atau untuk mencairkan identitas agamanya masing-masing.

Kalau mau jujur, pandangan Islam seperti ini justru lebih adil dan inclusive, dibandingkan dengan gagasan kaum pluralis yang hendak menghapuskan truth claim (klaim kebenaran) dengan gagasan unity of transenden-nya maupun gagasan global religionnya. Mereka tidak sadar, keinginan untuk menghapus truth claim pada masing-masing agama, seraya memaksakan ide pluralisme-nya kepada semua pemeluk agama dan keyakinan, sama artinya dengan menambah truth claim baru dan memunculkan agama baru. Bukankah ini sama saja dengan uniformisasi keyakinan dan gagasan? Sesungguhnya, mereka tidak sedang menghapuskan truth claim (yang fithrahnya tidak mungkin bisa dihapus), akan tetapi justru membuat truth claim baru dan identitas baru, yang ujung-ujungnya juga sectarian, eksklusive, dan uniformisasi dengan kedok pluralisasi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan komentar